Hafidz
Abdurrahman
Suatu ketika Nabi
saw bersabda, "Abu Bakar di surga. 'Umar di surga. 'Utsman di surga. 'Ali
di surga. Thalhah di surga. Zubair di surga. 'Abdurrahman bin 'Auf di surga.
Sa'ad bin Abi Waqqas di surga. Sa'id bin Zaid di surga. Abu 'Ubaidah al-Jarrah
di surga." (Hr. at-Tirmidzi dari Abdurrahman bin 'Auf). Mereka inilah yang
disebut al-Asyrah al-Mubasysyirina bi al-jannah (sepuluh sahabat yang
mendapatkan kabar gembira masuk surga).
Ketika mereka
mendapatkan kabar gembira masuk surga, apakah mereka mengendurkan amal shalih
mereka? Atau justru mereka mengencangkan amal shalihnya, demi meraih apa yang
telah dijanjikan? Ternyata, pilihan mereka adalah yang kedua. Mereka
mengencangkan amal shalih, demi meraih apa yang telah dijanjikan kepada mereka.
Lihatlah, bagaimana keimanan Abu Bakar as-Shiddiq kepada Nabi dan risalah yang
diembannya, sebagaimana yang dia tunjukkan saat peristiwa Isra' dan Mi'raj,
sehingga dia diberi gelar as-Shiddiq. Lihatlah, ketika dia menyatakan syahadat
di hadapan Nabi, sebagai pria yang pertama kali masuk Islam, sehingga
mendapatkan as-Sabiquna al-Awwalun (generasi awal yang masuk Islam). Lihatlah,
bagaimana pengorbanannya, setelah masuk Islam, tidak saja harta, waktu, bahkan
jiwa dan raganya pun diberikan untuk Islam, Allah dan Rasul-Nya.
Dengan hartanya,
dia bantu Bilal, memerdekakan dirinya dari budak. Bilal pun memeluk Islam, dan
menjadi orang merdeka. Hartanya pun dia korbankan hingga tidak tak tersisa,
sampai suatu saat malaikat Jibril bertanya kepada Nabi, "Mengapa Abu Bakar
memakai pakaian seperti itu?" Selembar kain, yang dipotong secukupnya
untuk masuk lubang kepalanya, lalu dilipat menjadi dua untuk menutupi badannya.
Nabi pun menjawab pertanyaan Jibril, "Dia telah membelanjakan semua
hartanya hingga sebelum Penaklukan Kota Makkah." Jibril berkata,
"Tanyakan kepadanya, apakah dia ridha dengan apa yang dia dapatkan?"
pertanyaan itu diterukan Nabi kepada Abu Bakar, sambil menangis, dia menjawab,
"Bagaimana mungkin hamba tidak ridha, ya Rasulullah, terhadap apa yang
Allah ridha." Ketika jawaban itu sampai kepada Jibril, Jibril berkata
kepada Nabi, "Sampaikanlah kepadanya salamku dan salam Allah, dan Allah
membangunkan rumah untuknya di surga."
Ketika malam
hijrah, Nabi saw. mengetuk pintu rumah Abu Bakar. Ketika tahu, yang datang
adalah Nabi, Abu Bakar pun langsung bertanya, "Apakah ada titah untuk
menemani-Mu, ya Rasulullah?" Nabi saw. menjawab, "Iya." Maka,
tangis Abu Bakar pun meledak, karena begitu gembira ditetapkan oleh Allah untuk
menemani Nabi-Nya hijrah ke Madinah. Sampai kata 'Aisyah, "Belum pernah,
aku melihat Abu Bakar menangis seperti itu, saking senangnya." Abu Bakar
pun telah menyiapkan seluruh kebutuhan Nabi, mulai logistik, kendaraan hingga
berbagai sarana dan prasarana untuk mendukung misinya. Saat tiba di mulut Gua
Tsur, Abu Bakar berkata kepada Nabi, "Ya Rasul, tunggu saja di sini,
biarlah saya yang masuk terlebih dahulu, memastikan di dalamnya." Semua
lubang di gua itu pun disisir dengan tangannya. Tiap lubang disumbat dengan
merobek pakaiannya, hingga tak tersisa. Semua lubang sudah tersumbat, demikian
juga pakaian Abu Bakar, habis tak tersisa. Tinggal satu, itu pun dia duduki,
agar tak satu pun lubang ada yang tersisa. Abu Bakar pun mempersilahkan Nabi
memasuki gua, saat dipastikan, bahwa di dalamnya aman dari hewan melata, atau
serangga berbisa. Saat mengetahui baju Abu Bakar tak tersisa, Nabi bertanya,
"Kemana bajumu? Engkau masuk mengenakan baju, kini baju itu tidak
ada." Begitulah pengorbanan Abu Bakar. Bersama Nabi dan para sahabat
lainnya, Abu Bakar, selama 10 tahun di Madinah tak kurang berperang puluhan
kali.
Belum lagi,
kezuhudan dan pilihan hidupnya yang sederhana, sampai saat wafat tak seper pun
uang dia wariskan kepada keluarganya. Apa saja yang selama ini digunakannya,
ketika menjadi Khalifah, diminta untuk dikembalikan kepada Baitul Mal kaum
Muslim.
Belum lagi,
ibadah, mujahadah dan munajat kepada Rabb-nya. Semuanya itu untuk memastikan,
bahwa surga yang dijanjikan kepadanya itu benar-benar dalam genggamannya.
Abu Bakar, dan
para sahabat yang mendapatkan janji surga, itu justru terus melakukan amal
shalih untuk memastikan, bahwa surga yang memang dijanjikan untuk mereka
benar-benar dalam genggamannya. Selama mereka belum menginjakkan kakinya di
surga, mereka tidak akan berhenti melakukan amal shalih. Maka, mereka pun
mendapat gelar "Ruhban al-lail wa Farsanan an-nahar" (Para rahib di
malam hari, dan kesatria di siang hari). Janji surga tidak membuat mereka
terlena, apalagi mengurangi dan mengendurkan amal shalih mereka. Sekali kali
tidak. Karena surga yang dijanjikan itu belum benar-benar mereka jejaki dengan
kaki mereka.
Maka,
"Teruslah berbuat (melakukan amal shalih), Allah pasti melihat amal
perbuatan kalian." (Q.s. at-Taubah [09]: 105), hingga kita menjejakkan
kaki kita di surga. Saat itu, kita baru bisa memastikan, bahwa kitalah penghuni
surga. Begitulah, para sahabat. Begitulah, Nabi mendidik mereka. Maka, mereka
pun bersungguh-sungguh dalam melakukan amal shalih, hingga surga yang
dijanjikan itu pun dalam genggaman.
No comments:
Post a Comment